BLOG GURU PAI

BLOG GURU PAI
Menggali potensi diri

Minggu, 16 Januari 2011

Ilmu I'jaz Al-quran


ILMU I’JAZ AL-QUR’AN
Oleh : Muhshoni


A.  Pendahuluan
Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia berbagai keistimewaan dan kelebihan serta memberinya kekuatan berfikir cemerlang yang dapat menundukkan unsur-unsur kekuatan alam dan menjadikannya sebagai pelayan bagi kepentingan manusia dan Allah SWT memberikan  bimbingan dari waktu ke waktu kepada manusia melalui sebersit wahyu sebagai petunjuk menempuh hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan. Namun watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia lain yang serupa dengannya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui, tunduk dan percaya akan kemampuan manusia lain itu yang tinggi dan berada di atas kemampuannya sendiri.
Dalam konteks inilah rasulullah Muhammad  diberi wahyu yakni Al-qur’an dengan segala ilmu pengetahuan yang dikandungnya serta segala beritanya tentang masa lalu dan masa yang akan datang. Akal manusia, betapapun majunya, tidak akan sanggup menandingi al-qur’an. Al-qur’an adalah mukjizat aqliyah,mukjizat bersifat rasional, yang berdialog dengan akal manusia dan menantangnya untuk selamanya.



B.     Pembahasan
1.            Pengertian
Menurut bahasa I’jaz berasal dari akar kata a’jaza yu’jizu yang artinya menjadikan lemah. Kata i’jaz satu akar kata dengan mu’jizat[1]. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidakmampuan melakukan sesuatu,lawan dari kemampuan. Yang dimaksud dengan I’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-qur’an , dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.[2]
Sifat dari sesuatu yang melemahkan (mu’jiz) tentunya berasal dari Allah, secara langsung atau tidak .Mu’jiz juga harus berupa sesuatu  yang menyalahi aturan kebiasaan yang khusus dimiliki oleh orang yang memperlihatkan sesuatu yang melemahkan itu (mu’jiz), harus sulit dilakukan manusia untuk melakukan hal yang sama, baik jenis ataupun sifatnya, dan harus dimiliki oleh orang yang mengaku mendapatkan kenabian yang hanya dapat dipercayai, maka apa saja yang memiliki sifat-sifat ini kami mengatakannya sebagai sesuatu yang melemahkan (mukjizat) dari segi istilah.[3]


2.      Kadar  Kemukjizatan al-Qur’an
1.      Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan  itu berkaitan dengan keseluruhan al-qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau denagn setiap surahnya secara lengkap.
2.      Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar dari al-qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah:
      Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal dengan al-quran...”(at-Tur[52]:34).
3.  Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.
3.      Aspek Kemukjizatan al-qur’an
Aspek-aspek kemukjizatan dalam al-qur’an menurut Manna khalil al Qattan dalam bukunya  Al-Mabahits fi al –Ulum al-Quran adalah :
a.       Kemukjizatan Bahasa
Kemukjizatan  bahasa al-qur’an terdapat pada keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya  ketika kita mendengar harakat dan sukun-nya, mad dan ghunnah-nya, fashilah dan maqta-nya, sehingga telinga kita tidak pernah bosan , bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya
Kemukjizatan itu pun dapat kita temukan dalam lafadz-lafadznya yang memenuhi hak setiap makna pada tempatnya. Tidak satupun diantara  lafaz-lafaz itu yang dikatakan sebagai kelebihan. Juga tak ada seorang peneliti terhadap suatu tempat(dalam al-qura’an) yang menyatakan bahwa pada tempat itu perlu ditambahkan sesuatu lafaz karena ada kekurangan.
Ada alasan (mengapa mukjizat berupa teks bahasa), sebab bangsa Arab pandai berbahasa dan bersilat lidah, sebagaimana ada alasan bagi munculnya mukjizat nabi Isa as, karena banyak ahli kedokteran; dan bagi nabi Musa as karena banyak tukang sihir. Allah SWT menciptakan mukjizat-mukjizat para nabi, menghadapi kepandaian populer, sebagai bentuk keahlian yang paling diunggulkan pada zaman di mana nabi akan diutus. Ilmu sihir pada masa nabi Musa telah mencapai puncaknya . Demikian pula ilmu kedokteran pada masa nabi Isa as. Dan kemampuan berbahasa pada masa nabi Muhammad SAW.[4]
Kemukjizatan juga dapat kita temukan dalam dalam macam-macam khitab dimana berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitasnyadapat memahami khitab itu sesuai dengan tingkatan akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya cocok dengan tingkatan akalnya dan sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli
Dari segi uslub/susunan , al-Quran memiliki uslub yang begitu menakjubkan berbeda dengan uslub/susunan ucapan manusia, diantara keistimewaan itu adalah :
1.      Kelembutan Al-Quran secara lafzhiah  yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasanya.
2.      Keserasian A-Quran baik untuk awam maupun kaum cendekiawan dalam arti bahwa semua orang dapat merasakan keagungan dan keindahan  al-Quran.
3.      Sesuai dengan akal dan perasaan, dimana al-Quran memberikan doktrin  pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus.
4.      Keindahan sajian Al-Quran serta susunan bahasanya, seolah-olah merupakan suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan serta perhatian.
5.      Keindahannya dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka-ragam dalam bentuknya, dalam arti bahwa satu makna diungkapkan dalam beberapa lafazh dan susunan yang bermacam-macam, yang semuanya indah dan halus.
6.      Al_Quran mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global dan bentuk yang terperinci (bayan).
7.      Dapat dimengerti sekaligus dengan melihat segi yang tersurat ( yang dikemukakan)[5]
Demikian pula kemukjizatan ditemukan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Al-qur’an dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan berimbang. Kekuatan pikir tidak akanmenindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak pula akan menindas kekuatan pikir.[6]
b. Kemukjizatan Ilmiah
Kemukjizatan ilmiah qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada dorongannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Qur’an mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak mengebiri aktivitas dan kreatifitas akal dalam memikirkan alam semesta, atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya. Dan tidak ada sebuah pun dari kitab-kitab agama terdahulu memberikan jaminan demikian seperti yang diberikan oleh Qur’an
Semua persoalan atau kaidah ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan, merupakan manifestasi dari pemikiran valid yang dianjurkan Qur’an, tidak ada pertentangan sedikitpun dengannya. Ilmu pengetahuan telah maju dadn telah banyak pula masalah-masalahnya, namun apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidak bertentangan sedikitpun dengan salah satu ayat-ayat Qur’an. Ini saja sudah merupakan kemukjizatan.
Al-Qur’an menjadikan pemikiran yang lurus dan perhatian yang tepat terhadap alam dan segala apa yang ada didalamnya sebagai sarana terbesar untuk beriman kepada Allah.
c.      Kemukjizatan Tasyri’
Umat manusia telah mengenal, di sepanjang masa sejarah, berbagai macam doktrin, pandangan, sistem dan tasyri (perundang-undangan) yang bertujuan tercapainya kebahagiaan individu di dalam masyarakat yang utama. Namun tidak satupun daripadanya yang mencapai keindahan dan kebesaran seperti yang dicapai Qur’an dalam kemukjizatan tasyri’nya
Aspek kemukjizatan al-quran menurut Nasr Hamid Abu Zaid adalah sebagai berikut :
a.             Kemukjizatan di luar teks
b.            Kemukjizatan di dalam teks
c.             Kemukjizatan di dalam bahasa[7]

4.  Contoh ayat dan penafsirannya
Diantara contoh-contoh gaya bahasa al-Quran yang mempesona  terkait dengan i’jaz al-Quran adalah sebagai berikut :
$Y6øŠx© â¨ù&§9$#@yètGô©$#ur    
kalimat di atas adalah penggalan ayat al-Quran surah Maryam ayat 4[8] yang makna harfiahnya “...dan kepala telah menyala putih beruban”. Kata-kata isti’arah (metafor) tidak mungkin maknanya sebelum orang mengenal  nadzm (puisi) dan sebelum orang memahami hakikatnya. Kecermatan dan kerahasiaan kata-kata itu antara lain ialah: Jika anda mendengar orang membaca firman Allah wasyta’ alar- ra’su syaiban (Dan kepala telah menyala putih beruban), kalimat itu tentu hanya dipandang sebagai kata-kata isti’arah yang memiliki keistimewaan, tanpa tahu sebab yang keistimewaan itu. Tapi sebenarnya inti persoalan tidak terletak pada sifat istimewanya. Kata-kata yang mengesankan itu bukanlah semata-mata karena bersifat isti’arah, melainkan karena Al-Qur’an menggunakan kata kerja (fi’il, yaitu menyala”) kepada sesuatu yang menjadi sebabnya, yaitu kata “kepala”. Dengan demikian kata yang menjadi sandaran, yaitu “kepala menurut kaidah ilmu nahwu hukumnya marfu’ (huruf akhirnya berdhammah). Sedangkan kata sesudah “kepala”, yaitu kata syaiban (memutih beruban), yang dalam kaitan makna berkedudukan sebagai objek kata kerja “menyala”, hukumnya manshub (huruf akhirnya berfathah). Hal itu untuk menegaskan hubungan kata yang menjadi sandaran (kepala) dengan kata kerja (menyala), dan untuk menjelaskan hubungan antara “kepala” dan kata “memutih beruban”. Selain itu juga disebabkan oleh adanya kaitan antara kata yang satu dengan kata yang lain, sebagaiman ayang sering terdenngar dari pembicaraan orang Arab. Misalnya Thaaba Zaidun Nafsan (Zaid merasa lega); qarra ‘Amr ‘ainan (‘Amr melihat pandangan yang menyenangkan); tashabbaba ‘arqan  (keringat bercucuran);  karuma ashlan (asal keturunan mulia); hasuna wajhan (baik paras mukanya) dan lain sebagainya. Di dalam kalimat-kalimat seperti itu anda menemukan fi’il (kata kerja) yang dipindahkan dari dari kedudukan yang satu kepada kedudukan yang lain dan itulah yang menjadi sebabnya. Juga kita bisa tahu dari makna susunan kalimat. Kata “menyala” pasti bermakna “memutih beruban”, kendatipun kata kerja “menyala” itu hanya dikaitkan dengan kata “kepala”. Demikian juga kaitan antara kata-kata pada beberapa contoh kalimat tersebut di atas, seperti kaitan antara kata thaaba dan nafsan; antara qarra dan ‘ainan; antara tashabbaba  dan ‘arqan dan seterusnya.
Setelah menjelaskan masalah tersebut diatas, ‘Abdu Qahir Al Jirjani berkata lebih lanjut:
“Seumpama anda membaca isyta’alar-ra’su wasy syaibu fir-ra’si kemudian anda perhatikan susunan kalimatnya apakah anda menemukan keindahan di dalamnya? Apakah cukup cemerlang seperti pada kalimat wasyta’alar-ra’su syaiban? Jika anda bertanya : apa sebab kata isyta’alaa (menyala yang dipinjam untuk melukiskan makna syaiban (memutih beruban/dalam bentuk seperti itu terasa lebih indah dan kenapa hal itu lebih menerangkan keistimewaan dibanding bentuk kalimat lain? Jawabnya ialah karena kata “menyala”memberi pengertian tentang “rambut yang memutih beruban” pada kepala, dan itulah makna pokoknya, yaitu bahwa warna putih telah merata pada seluruh bagian kepala, sehingga tak sehelaipun rambut berwarna hitam yang tertinggal. Lain sekali dengan kalimat isyta’ala syaibur ra’si (telah menyala keputihan rambut kepala), atau isyta’alasy syaibu fir ra’si (telah menyala keputihan rambut dikepala). Kalimat demikian itu tidak mengadung keindahan. Cobalah bandingkan dengan kalimat isyta’alal baitu naaran (rumah telah menyala oleh api. Kalimat di atas bermakna ahwa api membakar semua bagian rumah.. Tapi kalau kalimat isyta’alatin naaru fil baiti (api menyala di rumah), itu berarti : ada api di rumah atau membakar sebagian rumah. Kalimat itu sama sekali tidak bermakna bahwa kobaran api telah merata ke semua bagian rumah.[9]

5.  Tokoh-tokoh penulis al-Quran
1.      AL-RUMMANI
            Di antara pemikir itu adalah al-Rummani, pengarang kitab al-Nukat fi I’jaz al-Quran, salah satu karya ilmiah pertama yang menggunakan kata i’jaz dalam judulnya. Masalah utama yang dibahas dalam buku itu adalah pembuktian keunikan balaghah al-quran. Al-Rummani yang berpaham mu’tazilah berpandangan bahwa ide i’jaz memiliki tujuh segi, yaitu:
1.      Tidak tertandinginya al-Quran, meski banyak faktor yang mendorong untuk menandinginya.
2.      Tantangan al-Quran yang berlaku untuk umum.
3.      Al-Shorfah, yakni Allah memalingkan manusia dari menandingi al-Quran.
4.      Balaghah al-Quran, yaitu kefasihan dan pengaruh estetikanya yang efektif.
5.      Terdapatnya informasi dan berita yang benar tentang peristiwa masa depan.
6.      Karakter al-Quran yang menyalahi kebiasaan, bukan puisi bukan prosa.
7.      Pembandingan al-Quran dengan segala mukjizat yang pernah dikenal oleh agama lain.
                Al-Rummani tidak menjelaskan secara rinci dan panjang lebar ketujuh segi i’jaz tersebut kecuali tentang balaghah al-Quran. Pertama ia mendefinisikan balaghah sebagai berikut: “penyampaian makna ke dalam hati dalam bentuk lafal yang paling indah. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan unsur-unsur balaghah yang berjumlah sepuluh, yaitu: a) al-ijaz, b) al-Tasybih, c) al-istiarah, d) al-Ta’alum, e) al-Fawashil, f) al-Tajanus, g) al-Tashrif, h) al-Tadhmin, i) al-Mubalaghah, j) Husn al-bayan
2.   AL-KHATABI (w. 388 H/998 M)
                   Ulama Sunni ini hidup semasa dengan al-Rummani, ia menolak pemikiran al-Sharfah sebagai segi i’jaz al-quran, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam kitabnya Bayan I’jaz al-Quran. Al-sharfah berarti bahwa manusia sebenarnya mampu membuat yang semisal dengan al-Quran, namun dipalingkan oleh Allah untuk melakukan hal itu. Demikian juga dengan berita masa depan, ia tidak menganggapnya sebagai segi i’jaz. Al-Khatabi menerima ide keunikan balaghah al-Quran sebagai segi i’jaz. Dia mengatakan bahwa perkataan itu memiliki tiga unsur, yaitu:
1).lafal pemangku,
2) makna yang berdiri padanya,
3) sistem pertalian antar keduanya yang merangkai.
            Dia meyakini bahwa manusia tidak akan mampu menandingi al-Quran. Karena al-Quran itu tersusun dari lafal-lafal yang paling fasih, paling kuat, dan paling lembut. Makna-maknanya sangat maju sesuai dengan topiknya, dan strukturnya tidak terungguli oleh struktur apapun, baik dari segi keindahan susunan maupun eratnya pertalian. Di akhir pembahasannya ia menunjukkan pengaruh kuat balaghah al-Quran pada jiwa dan hati yang sering dilupakan orang. Dia menganggap pengaruh kejiwaan ini sebagai salah satu wajah i’jaz al-Quran yang lahir dari sekumpulan keunikan balaghah yang dimilikinya.
 3.  AL-BAQILLANI (w. 403 H./1013 M.)
Dalam karyanya yang berjudul I’jaz al-Quran ia memaparkan bahwa balaghah dan keistimewaan bahasanya masuk dalam i’jaz al-Quran. akan tetapi, al-Baqillani tidak hanya membatasi segi i’jaz pada keunikan balaghah saja. Ia juga mengakui informasi al-Quran tentang hal gaib dan peristiwa depan serta pemberitaan orang-orang terdahulu sebelum nabi Muhammad sebagai segi i’jaz. Letak kemukjizatannya adalah bahwa berita ini disampaikan oleh orang yang buta huruf, tidak tahu baca tulis dan tidak pernah baca satu kitab pun sebelum al-Quran.
Dalam kitabnya tersebut al-Baqillani juga membandingkan khutbah dan surat Nabi serta kata-kata indah dari para sahabat yang dibandingkan dengan keindahan al-Quran. dia juga mengkritik secara sastrawi terhadap Muallaqah Imru’ al-Qais dan kasidah Lamiyyah al-Buhturi, dua kasidah panjang yang terbilang sebagai mutiara syair Arab.
Menurut al-Baqillani, i’jaz tidak bertumpu pada balaghah itu sendiri. Hal itu karena balaghah ada yang bisa diciptakan oleh manusia, sedangkan balaghah yang terdapat dalam al-Quran tidak bisa ditiru oleh manusia.
  4. QADHI ABDUL JABAR (w. 415 H./1025 M.)
Menurutnya, uslub al-Quran merupakan segi utama i’jaz, kefasihannya membuat bangsa Arab lemah hingga tidak mampu menandinginya. Dalam bukunya al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-A’dl, pada jilid yang ke 16 ia mengatakan bahwa fashahah adalah produk keistimewaan lafal dan makna. Qadhi Abdul Jabar tidak mengabaikan pentingnya makna, dia hanya menegaskan bahwa fashahahlah yang memberikan keistimewaan, sementara kefasihan al-Quran berada pada tingkat paling tinggi. Banyak pakar sebelumnya yang membahas masalah pemilihan kata dan penataannya, atau yang biasa disebut dengan nazham, dalam buku-buku yang mereka beri judul Nazham al-Quran. seperti buku al-Jahizh yang sudah tak ada bekasnya, buku al-Sijistani, al-Balkhi, dan Ibn al-Ikhsyid. Akan tetapi yang membahas masalah ini secara panjang lebar kemudian merumuskan secara teoritis dan metodelogis adalah al-Jurjani.


  5. ABDUL QAHIR AL-JURJANI
Melalui dua kitabnya yaitu: Dala’il al-I’jaz dan Asrar al-Balaghah, al-Jurjani mempertalikan masalah nazham dengan majaz-majaz balaghah dan pola-pola keindahan bad’i. Menurutnya kata tunggal itu tidak memiliki keistimewaan pada dasarnya. Demikian juga makna, tidak memiliki wujudnya sendiri tanpa kata-kata. Oleh karena itu, tidak mungkin menetapkan derajat balaghahnya dalam keadaan tunggal. Sebaliknya, derajat itu hanya mungkin diketahui dalam kondisi terhimpun dalam sebuah nazham (struktur). Dari sini jika susunan kata berubah maka berubah pula maknanya.
Atas dasar itu semua, uslub yang paling bagus adalah uslub yang mampu mewujudkan sebagus mungkin nazham bagi makna yang dimaksudkan. Yakni dengan cara memilih kata yang paling mampu mengekspresikan maksud dan meletakkannya dalam susunan yang paling laik bagi makna tersebut. Al-Quran dalam pandangan al-Jurjani menggunakan nazham paling bagus dan indah. Oleh karena itu, begitu mendengarnya orang Arab langsung menyadari bahwa mereka tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.
Dari sini al-Jurjani bisa dianggap sebagai salah satu pemikir muslim pertama yang mengkaji nazham al-Quran secara mendalam, menganalisanya secara panjang lebar dan memaparkan teori makna dalam kajian estetika dan stilistika Arab, jauh mendahului kajian-kajian Barat Modern. Setelah Jurjani muncul para pakar lain yang lebih sistematis dalam menulis topik ini, seperti Fakhruddin al-Razi dan al-Sakkaki.
  6. ZAMAKHSYARI (w. 538 H./1144 M.)
Di bidang tafsir tidak ada pakar yang lebih baik daripada al-Zamakhsyari dalam menggunakan ilmu Balaghah untuk memahami teks al-Quran, kemudian menyoroti i’jaz dan keindahan uslubnya. Tafsirnya al-Kasysyaf meski mengandung ide-ide muktazilah, tafsir ini tetap disanjung oleh banyak kalangan. Tafsirnya terus menyambung, mencakup seluruh al-Quran; ayat demi ayat. Setiap kalimat dan ungkapan dia kupas secara beruntun.
Maknanya dia tafsirkan, unsur-unsur uslubnya yang memberikan pengaruh keindahan dan balaghah yang luar biasa ia analisis. Selain itu dia juga berulang kali menunjukkan keutamaan nazham al-Quran yang unggul dan tiada bisa ditandingi oleh manusia.
Setelah Zamakhsyari, banyak pengarang muncul, namun mereka tidak memberikan sumbangan yang bearti terhadap pemahaman i’jaz. Dalam periode itu, ilmu Balaghah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ilmu Ma’ani, ilmu bad’i, dan ilmu Bayan. Akan tetapi apa yang meyusup ke dalam ilmu ini hanya berupa kerumitan yang mandul dan diskursus-diskursus yang gersang membuatnya semakin jauh dari maksud estetik dan sastrawi.[10]
C.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Yang dimaksud dengan I’jaz ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-qur’an , dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.
2.  Yang dimaksud dengan I’jaz (kemukjizatan) al-Quran menurut para ahli adalah meliputi aspek aspek berikut ini :
1.      Kemukjizatan Bahasa
2.      Kemukjizatan Ilmiah
3.      Kemukjizatan Tasyri’
3.   Diantara tokoh-tokoh Ilmu I’jaz Al-Quran adalah :
1.   Al-Rummani                                   4.         Qadhi Abdul Jabbar
2.   Al-Khatabi                                     5.         Abdul Qahir Al-Jurjani
3.   Al-Baqillani                                    6.         dan lain-lain
DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Warson Munawwir,Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif,1984)
Al-Qadhi Abdul Jabbar, Al-mughni fi abwab at-tauhid wa al adl, (Mesir : 1960) Juz 25
Badruddin Muhammad bin Abdillah  Az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran,( Beirut : Dar al-Ma’rifah,  1972) juz 2 cet ke-3
Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahnya ( Bandung : Syaamil )
Issa J. Boullata, al-Quran Yang Menakjubkan, (Ciputat: Lentera hati)
Manna Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Bogor,Litera Antar Nusa, 2001), cet. Ke-6
Mohammad Aly ash Shabuny, at-Tibyan Pengantar study al-Quran (Bandung :PT Al-Maarif, 1996 ),Cet. 4 h. 125
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-quran (Yogyakarta : LkiS. 2002) cet ke-2
Subhi As-shalih, Membahas ilmu-ilmu Al Qur’an, (Jakarta:Pustaka  Firdaus,2001) Cet. Ke-8


[1] Ahmad Warson Munawwir,Kamus aAl-Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progessif, 1984),h 963
[2] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Bogor : Litera Antar Nusa,  2001), cet. Ke-6, h. 371
[3] Al-Qadhi Abdul Jabbar, Al-mughni fi abwab at-tauhid wa al adl, (Mesir : 1960) Juz 25, h. 99
[4] Badruddin Muhammad bin Abdillah  Az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran,( Beirut : Dar al-Ma’rifah,  1972) juz 2 cet ke-3 h. 58  
[5] Mohammad Aly ash Shabuny, at-Tibyan Pengantar study al-Quran (Bandung :PT Al-Maarif, 1996 ),Cet. 4 h. 125
[6] Manna Khalil al-Qattan, Op Cit. h. 383
[7] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-quran (Yogyakarta : LkiS. 2002) cet ke-2 h. 189
[8] Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahnya ( Bandung : Syaamil ) h. 305
[9] Subhi As-shalih, Membahas ilmu-ilmu Al Qur’an, (Jakarta:Pustaka Firdaus,2001) Cet. Ke-8, hal.421-422
[10] Issa J. Boullata, al-Quran Yang Menakjubkan, (Ciputat: Lentera hati), hal. 4-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar